Kedaulatan Raja
Saturday, February 16, 2019
Pengertian Kedaulatan Raja Dan Teorinya. Konsep Kedaulatan Raja hampir sama tuanya
dengan gagasan Kedaulatan Tuhan. Bahkan sampai abad ke-6, dimana semua negara
yang tercatat dalam sejarah selalu dipimpin oleh penguasa yang bersifat tuturn
temurun, yang biasa disebut sebagai Raja atau Ratu.
Definisi Kedaulatan Raja
Pengertian Kedaulatan Raja. Kedaulatan sebuah negara terletak di
tangan raja, sebab raja merupakan penjelmaan kehendak Tuhan dan juga bayangan
dari Tuhan. Agar negara kuat dan kokoh, seorang raja harus mempunyai kekuasaan
yang kuat dan tidak terbatas sehingga rakyat harus rela menyerahkan hak-haknya
dan kekuasaannya kepada raja.
Teori Kedaulatan Raja
Teori ini pernah diterapkan di Perancis pada masa Raja Louis XIV.
Pada zaman modern model kekuasaan ini telah ditinggalkan negara-negara di
dunia, karena kedaulatan raja cenderung menciptakan kekuasaan yang tidak
terbatas (absolut), sewenang-wenang dan otoriter.
Pelopor teori ini adalah Machiavelli dan Thomas Hobbes. Dengan
adanya kedaulatan yang dimiliki oleh para raja, maka raja berkuasa dengan
sewenang-wenang bahkan Raja Louis XVI dari Prancis dengan sombongnya berkata
"L'ettat C'est Moi" yang berarti "Negara adalah Saya"
Pelopor :
Dalam penghujung abad ke-16, di Eropa muncul
pemikiran-pemikiran politik yang menitik beratkan pada kedaulatan raja sebagai
sumber kekuasaan politik. Dengan adanya paham ini kekuasaan Gereja terhadap
kerajaan-kerajaan di Eropa mulai memudar. Raja sebagai penguasa dalam sistem
negara monarki mempunyai kekuasaan dominan terhadap elemen-elemen yang ada
dalam negara. Karena – hal ini berasal dari asumsi - rakyat menyerahkan
kekuasan mereka kepada raja untuk mengatur kehidupan warga negara. Awalnya
konsep ini dapat diterima oleh rakyat. Namun, lama kelamaan kekuasaan raja yang
dominan membawa rakyat kearah yang tidak memberikan ruang dan hak kebebasan dan
kemerdekaan bagi rakyat. Dengan kondisi yang merugikan rakyat kemudian
kekuasaan raja yang dominan dibatasi.
Dalam konsep kedaulatan raja ini, Raja lah yang
dipandang mempunyai kekuasaan tertinggi atas apa saja. Seperti dikatakan oleh
Montesquieu, imperium’ merupakan konsep ‘rule over individuals by the prince’,
sedangkan dominium atau ‘dominion’ merupakan ‘rule over things by the
individuals’. Namun, jika kedua pengertian itu berhimpun jadi satu, maka sang
Raja sudah dipastikan menjadi tiran yang tidak dapat dikendali oleh apapun dan
siapapun. Tentu, di zaman sekarang, pengertian yang demikian ekstrim sudah
banyak ditinggalkan orang. Meskipun demikian, negara-negara yang berbentuk
kerajaan masih cukup banyak di dunia sekarang ini. Akan tetapi, semua
kerajaan-kerajaan yang masih ada itu, pada umumnya, sudah mengalami perubahan
mendasar dalam cara bekerjanya sehari-hari.
Di zaman sekarang, konsep kedaulatan rakyat
tidak lagi dikaitkan dengan kedaulatan Tuhan, melainkan diintegrasikan dengan
konsep kedaulatan rakyat, sehingga negara-negara kerajaan dewasa ini berhasil
membedakan dan memisahkan antara fungsi kepala negara dengan kepala
pemerintahan.Karena itu, muncullah konsep monarki konstitusional
(constitutional monarchy) dalam praktik. Negaranya adalah kerajaan, tetapi
hukum tertinggi yang berlaku adalah konstitusi. Dengan demikian, dewasa ini,
tidak ada masalah dengan pengertian umum mengenai kerajaan yang menganut paham
kedaulatan raja, karena pada saat yang sama kerajaan-kerajaan itu dapat
mengadopsi gagasan-gasan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum sekaligus.
Teori
Kekuasaan berdasarkan Tuhan kemudian dalam perkembangannya sejarahnya mengalami
otokritik dan pemberontakan, karena dalam kenyataanya kekuasaan yang bedasarkan
Tuhan dalam sejarah Eropa menimbulkan kesewenang-wenangan pemegang otoritas
Tuhan sehingga memunculkan reaksi yang kemudian berhasil memisahkan kekuasaan
negara dari gereja atau dengan kata lain sekulerisasi. Dari sanalah kemudian
berkembang teori kekuasaan atau kedaulatan raja yang memandang bahwa rajalah
yang berkuasa.
Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia kontemporer, bentuk-bentuk kedaulatan raja (monarkhi) ini ternyata masih diakui dan terdapat di negara Indonesia yaitu di Daerah Istimewa Jogjakarta.
Hal tersebut mendapatkan legitimasi berdasarkan Pasal 18 A ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa“ Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”
Secara lebih tegas, Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945 tersebut memberi payung hukum bagi eksis dan berdirinya suatu bentuk kerajaan peninggalan masa lampau di Jogjakarta yang bukan hanya berupa cagar budaya namun juga mempunyai kekuasaan dengan ditetapkannya Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta dan Paku Alam sebagai sebagai Wakilnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikenal pula sistem monarkhi atau kerajaan atau kedaulatan raja dalam arti tertentu sesuai dengan apa yang ada dalam sistem pemerintahan DIY.